Selasa, 29 November 2011

Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

1.    1. Latar Belakang
Perbedaan merupakan suatu yang wajar dalam suatu proses sosialisasi. Hanya cara menyikapinya lah yang menentukan apakah perbedaan tersebut akan menjadi konflik atau hanya akan menjadi alternatif lain dan sesuatu yang membuat menjadi lebih berwarna mengenai suatu hal. Perbedan-perbedaan sering kali menimbulkan pertentangan-pertentangan mengenai suatu hal yang memicu terjadinya konfilk dan perang, hanya integrasi dan pengertian-penertian lah yang membuat hal-hal yang tidak diinginkan tersebut tidak terwujud.
Tentunya dalam proses integrasi membutuhkan banyak hal untuk dipertimbangkan, mengingat bahwa suatu pertentangan biasanya melibatkan satu atau dua bahkan sekelompok orang yang memilki pemikiran-pemikiran yang berlawanan mengenai suatu hal. Memiki pengertian bahwa perbedaan itu indah sudah seharusnya melekat pada diri manusia agar konfilk-konfilk besar yang mampu memusnahkan umat manusia seperti yang sudah terjadi sejak zaman dahulu tidak kembali terulang.
Namun, tidak sedikit juga manusia yang malah memanfaatkan hal ini untuk kepentingan dirinya sendiri, seperti malah menkeruhkan suasana untuk terjadinya perang sehingga saat keduanya usai dan dalam kondisi labil, orang-orang licik ini bisa masuk untuk mengatur dan mengambil semua untuk kepentingan diri dan kelompaknya sendiri. Untuk itu integrasi harus tertanam penuh dari masa kanak-kanak sehingga tidak menjadi oran gyagn mudah terhasut dan dikontrol untuk melakukan konfilk dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain.

1.    2. Tujuan Penulisan
Pertentangan merupakan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi dalam proses sosialisasi, oleh sebab itu dibutuhkan sikap integrasi dari masyarakat agar perbedaan-perbedaan tersebut tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan menjadi konflik yang berkepanjangan bahkas sampai terjadinya perang. Adapun tujuan dari penulisan ini . yakni :
1.      Mengerti bahwa Pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam proses sosialisasi merupakan hal yang wajar.
2.      Mampu menentukan sikap saat pertentangn terjadi sehingga tidak menjadi konflik yang berkepanjangan.
3.      Mampu menanamkan sikap integrasi didalam hati sehingga timbul rasa kebersamaan diantara sesama.
4.      Memiliki sudut pandang mengenai pertentangan bahwa perbedaan itu ada untuk membuat sesuatu lebih berwarna.
5.      Mampu mencari “win solution” pada saat menghadapi suatu pertentangan dengan mengandalkan sikap integrasi tersebut.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.    1. Pertentangan Sosial
Perentangan-pertentangan sosial kerap terjadi ditengah kehidupan masyarakat yang penuh dengan proses sosialisasi. Hal ini tidak mungkin untuk dihindari karena dalam pertentangan biasanya melibatkan satu, dua bahkan sekelompok orang yang memiliki pandangan tertentu mengenai suatu hal, tetapi menemukan perbedaan-perbedaan dalam berpendapat dan pola pikir mengingat setiap orang pasti memilki latar belakang yang berbeda-beda pula. Pertentangan sosial identik sekali dengan konfilk, yakni sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Beberapa ahli mendefinisikan konflik sesuai pengertiannya sendiri, seperti :
  1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
  2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
  3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
  4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
  5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
  6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
  7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
  8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
  9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
  10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381).

2.2.       Faktor penyebab terjadinya konflik / pertentangan

·         Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

·         Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

·         Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

·         Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

2.3.       Akibat dari Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
·         meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
·         keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
·         perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
·         kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
·         dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
·         Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
·         Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
·         Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
·         Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik)

2.4.       Integrasi Masyarakat
Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
·         Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
·         Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu
Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut :
·         Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar)
·         Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Integrasi, yakni :
A. Faktor Internal :
·         kesadaran diri sebagai makhluk sosial
·         tuntutan kebutuhan
·         jiwa dan semangat gotong royong
B. Faktor External :
·         tuntutan perkembangan zaman
·         persamaan kebudayaan
·         terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
·         persaman visi, misi, dan tujuan
·         sikap toleransi
·         adanya kosensus nilai
·         adanya tantangan dari luar
(http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial)

2.5.       Studi Kasus

Tragedi Sampit – Seperti yang kita ketahui, tragedy sampit adalah perang antara suku dayak dan suku Madura. Entah apa penyebab awal mula tragedi sampit yang sebenarnya. Menurut informasi yang awalmula.com dapatkan dari berbagai sumber, ada beberapa versi yang menyebabkan terjadinya pertempuran berdarah disampit, diantaranya ada yang mengatakan terjadinya perang antara suku Dayak dan suku Madura karena kecemburuan sosial-Ekonomi.

Dalam versi lain mengatakan, Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini.
Saat terjadi pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang tengah di rasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak.
Beberapa Peristiwa yang mungkin termasuk pemicu terjadinya Tragedi Sampit :

• Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.


• Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.


• Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh.


• Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.


• Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.


• Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang Dayak adalah dihukum berat.


• Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.


• Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum.


• Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.


• Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.


• Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.


• Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.


• Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.


• Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.


• Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).


• Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.


• Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

(http://dean81.wordpress.com/2011/06/24/awal-mula-terjadinya-tragedi-sampit/)


2.6.       Pembahasan
Tragedi sampit merupakan salah satu konflik paling kelam yang pernah terjadi di Indonesia tercinta ini. Sampai saat ini pun masih belum diketahui pasti apa asal usul penyebab terjadinya konfilk antara suku Dayak dan suku Madura ini. Namun, untungnya hal ini sudah berlalu dan cepat diatasi oleh pemerintah. Untuk sekarang kita harus memulai untuk menanamkan sikap berintegrasi dan toleransi terhadap sesama sehingga hal-hal seperti ini tidak kembali terulang dikemudian hari. Dengan menanamkan kedua hal tersebut diharapkan kita mampu untuk mengendalikan diri sehingga tidak mudah terhasut dan tetap memiliki rasa kemanusian walaupun disituasi yang bersitegang.
Adanya persamaan derajat pun bukan berarti membuat diri kita untuk menjadi tidak sopan dan tidak menghormati sesama, melainkan malah harus membuat diri kita harus lebih menghargai  mengenai keberadaan orang lain dan hak-hak hidup mereka. Semoga dengan konflik-konflik yang sudah berlalu membuat kita lebih mengerti mengenai perbedaan dan tetap mampu menghormati seseorang walaupun bersebrangan pola pikir dengan diri kita.


BAB III
PENUTUP


Perentangan-pertentangan sosial kerap terjadi ditengah kehidupan masyarakat yang penuh dengan proses sosialisasi. Pertentangan sosial identik sekali dengan konfilk, yakni sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Didalam sikap integrasi tertananm bibit toleransi sehingga mampu membuat pola pikir bahwa perbedaan itu ada sebagai proses untuk mendapat cara baru, bukan sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan masalah.
Pertentangan dan perbedaan merupakan sesuatu yang berkaitan erat dengan terjadinya konflik. Sikap kita terhadap pertentangan itulah yang amat sangat menentukan akan menjadi konflik atau perundingankah perbedaan tersebut. Dalam sejarah umat manusia sudah banyak terjadinya konfilk yang menyebabkan banyak jiwa-jiwa tak bersalah yang ikut melayang dikarenakan masalah segelintir orang. Oleh karena itu, untuk menghindari terulang sejarah-sejarah manusia yang kelam kita harus memulai dari diri sendiri dengan menanamkan sikap toleransi dan saling menghormati karena kedua sikap ini memegang peranan penting dalam keharmonisan suatu organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar