Minggu, 02 Oktober 2011

Hubungan Ilmu Sosial Dasar dengan Tekik Informatika

BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

Dewasa ini teknologi informasi sudah menjadi bagian penting dalam hidup manusia terutama dalam hal membuat, mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan dan menyebarkan informasi. Pada dasarnya data adalah fakta, kejadian, berita, fenomena dan sejenisnya yang dapat diolah atau diproses menjadi keluaran dalam bentuk informasi. Data dapat berupa angka, ukuran, kata, kalimat, tulisan-tulisan, uraian cerita, gambar, simbol, tanda, yang belum memliliki ciri-ciri informatif dan belum diinformasikan keberadannya, sehingga diperlukan pengolahan.
Pada zaman sekarang ini, komputer merupakan alat yang sangat diminati manusia dalam membantu kesehariannya terutama dalam hal mengolah data. Banyaknya fitur-fitur bantuan pada komputer yang membuat data tersebut menjadi lebih menarik dalam penyajiannya, menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi komputer. Jadi komputer juga bisa dikatakan sebagai input pengolah data yang menghasilkan output berupa informasi.
Kemajuan teknologi informasi yang paling diminati sekarang ini ialah aktifitas informasi di dunia maia, dimana banyak situs-situs  jejaring sosial dan sejenisnya yang menawarkan keefektifitasan dan keefisienan waktu dalam menyampaikan dan menyajikan informasi tersebut. Tapi ,tidak sedikit juga orang yang salah dalam menyalahgunakan keadaan seperti sekarang ini. Banyak dari mereka yang menerobos dan membobol keamanan jejaring sosial tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri maupun instansi tempat ia bernaung. Oleh karena itu secanggih apapun teknologi yang ada jika tidak diiringi oleh sikap interaksi yang baik membuat teknologi tersebut menjadi tidak bermanfaat bagi sesama.

1.2      Tujuan Penulisan
Dapat dikatakan keberadaan teknologi informasi sekarang ini ialah sebagai ilmu yang diperlukan untuk mengolah informasi agar informasi tersebut dapat dicari dengan mudah dan akurat. Untuk itu karna informasi bearati juga menyampaikan sesuatu kepada orang banyak, kita sebagai pengguna sudah seyogyanya memiliki sikap interaksi yang baik antar sesama.
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.    Memahami bahwa informasi merupakan suatu hasil dari pengolahan data.
2.    Mampu membuat dan menyampaikan informasi yang bermakna serta berguna dan bermanfaat.
3.    Mendorong orang untuk menjadi lebih berkembang.
4.    Mampu bersikap profesional dan menjaga keamanan isi dari informasi tersebut.
5.    Mampu mengevaluasi Sistem Informasi secara kritis dan membuat analisis dampak terhadap efisiensi sistem secara keseluruhan.
6.    Mengetahui aspek teknis dan menejemen dari pemanfaatan Teknologi Informasi.


BAB II

LANDASAN TEORI
1.1      Hacker dan Cracker
A.   HACKER

Hacker adalah sebutan untuk orang atau sekelompok orang yang memberikan sumbangan bermanfaat untuk dunia jaringan dan sistem operasi,
membuat program bantuan untuk dunia jaringan dan komputer. Hacker juga bisa di kategorikan perkerjaan yang dilakukan untuk mencari kelemahan suatu system dan memberikan ide atau pendapat yang bisa memperbaiki kelemahan system yang di temukannya.

B.    TINGKATAN HACKER

1. Elite
--------
Ciri-ciri : mengerti sistem operasi luar dalam, sanggup mengkonfigurasi & menyambungkan jaringan secara global, melakukan pemrogramman setiap harinya, effisien & trampil, menggunakan pengetahuannya
dngan tepat, tidak menghancurkan data-data, dan selalu mengikuti peraturan yang ada. Tingkat Elite ini sering disebut sebagai ‘suhu’.

2. Semi Elite
-------------
Ciri-ciri : lebih muda dari golongan elite, mempunyai kemampuan & pengetahuan luas tentang komputer,
mengerti tentang sistem operasi (termasuk lubangnya), kemampuan programnya cukup untuk mengubah program eksploit.

3. Developed Kiddie
-------------------

Ciri-ciri : umurnya masih muda (ABG) & masih sekolah, mereka membaca tentang metoda hacking & caranya di berbagai kesempatan, mencoba berbagai sistem sampai akhirnya berhasil & memproklamirkan kemenangan ke lainnya,
umumnya masih menggunakan Grafik User Interface (GUI) & baru belajar basic dari UNIX tanpa mampu menemukan lubang kelemahan baru di sistem operasi.

4. Script Kiddie

Ciri-ciri : seperti developed kiddie dan juga seperti Lamers, mereka hanya mempunyai pengetahuan teknis networking yang sangat minimal, tidak lepas dari GUI, hacking dilakukan menggunakan trojan untuk menakuti & menyusahkan hidup sebagian pengguna Internet.


5. Lammer

Ciri-ciri : tidak mempunyai pengalaman & pengetahuan tapi ingin menjadi hacker sehingga lamer sering disebut sebagai ‘wanna-be’ hacker, penggunaan komputer mereka terutama untuk main game, IRC, tukar menukar software prirate, mencuri kartu kredit, melakukan hacking dengan menggunakan software trojan, nuke & DoS, suka menyombongkan diri melalui IRC channel, dan sebagainya. Karena banyak kekurangannya untuk mencapai elite, dalam perkembangannya mereka hanya akan sampai level developed kiddie atau script kiddie saja.

C.   CRACKER

Sedangkan Cracker adalah sebutan untuk orang yang mencari kelemahan system dan memasukinya untuk kepentingan pribadi dan mencari keuntungan dari system yang di masuki, seperti: pencurian data, penghapusan, dan banyak yang lainnya. Cracker tidak memiliki tingkatan karena sifatnya yang merusak. Mereka yg masuk ke dalam sistem orang lain yakni cracker lebih bersifat destruktif, biasanya di jaringan komputer, mem-bypass password atau lisensi program komputer, secara sengaja melawan keamanan komputer, men-delete data oramg lain, mencuri data dan umumnya melakukan cracking untuk keuntungan sendiri, maksud jahat atau karena sebab lainnya karena ada tantangan. Beberapa proses pembobolan dilakukan untuk menunjukkan kelemahan keamanan sistem.


1.2      Metodologi
Hacker muncul pada awal tahun 1960-an diantara para anggota organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kata hacker pertama kali muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang memiliki keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang lebih baik dari yang telah dirancang bersama.
Kemudian pada tahun 1983, analogi hacker semakin berkembang untuk menyebut seseorang yang memiliki obsesi untuk memahami dan menguasai sistem computer. Sebagai contoh : digigumi (Grup Digital) menggunakan teknik teknik hexadecimal untuk mengubah teks yang terdapat di dalam game. Contohnya, game Chrono Trigger berbahasa Inggris dapat diubah menjadi bahasa Indonesia.
Hacker sendiripun memiliki kode etik seperti :
1.    Mampu mengakses komputer tak terbatas dan totalitas.
2.    Semua informasi haruslah FREE.
3.    Tidak percaya pada otoritas, artinya memperluas desentralisasi.
4.    Tidak memakai identitas palsu, seperti nama samaran yang konyol, umur, posisi.
5.    Mampu membuat seni keindahan dalam computer.
6.    Komputer dapat mengubah hidup menjadi lebih baik
7.    Pekerjaan yang di lakukan semata-mata demi kebenaran informasi yang harus disebar         luaskan.
8.    8 Memegang teguh komitmen tidak membela dominasi ekonomi industri software tertentu.
9.    Hacking adalah senjata mayoritas dalam perang melawan pelanggaran batas teknologi computer.
10.  Baik Hacking maupun Phreaking adalah satu-satunya jalan lain untuk menyebarkan informasi pada massa agar tak gagap dalam computer Cracker tidak memiliki kode etik apapun.
Adapun aturan yang perlu di ikuti hacker seperti di jelaskan oleh Scorpio, yaitu:
1.     Hormati pengetahuan & kebebasan informasi.
2.     Memberitahukan sistem administrator akan adanya pelanggaran keamanan / lubang di keamanan yang anda lihat.
3.     Jangan mengambil keuntungan yang tidak fair dari hack
4.     Tidak mendistribusikan & mengumpulkan software bajakan
5.     Selalu bersedia untuk secara terbuka / bebas / gratis memberitahukan & mengajarkan berbagai informasi & metoda yang diperoleh.
6.     Hormati mesin yang di hack, dan memperlakukan dia seperti mesin sendiri.
7.     Tidak pernah memberikan akses ke seseorang yang akan membuat kerusakan.
8.     Tidak pernah secara sengaja menghapus & merusak file di komputer yang dihack.
9.        Tidak pernah meng-hack sebuah sistem untuk mencuri uang

Pada perkembangan berikutnya muncul kelompok lain yang menyebut-nyebut diri hacker, padahal bukan. Mereka ini (terutama para pria dewasa) yang mendapat kepuasan lewat membobol komputer dan mengakali telepon (phreaking). Hacker sejati menyebut orang-orang ini ‘cracker’ dan tidak suka bergaul dengan mereka. Hacker sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak
bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas.
Biasanya di jaringan komputer, mem-bypass password atau lisensi program komputer, secara sengaja melawan keamanan komputer, men-deface (merubah halaman muka web) milik orang lain bahkan hingga men-delete data orang lain, mencuri data dan umumnya melakukan cracking untuk keuntungan sendiri. Adapun perbedaan Hacker dan Cracker ialah sebagai berikut :     
a.   Hacker
1.   Mempunyai kemampuan menganalisa kelemahan suatu sistem atau situs.
2.   Hacker mempunyai etika serta kreatif dalam merancang suatu program yang berguna bagi siapa saja.
3.   Seorang Hacker tidak pelit membagi ilmunya kepada orang-orang yang serius atas nama ilmu pengetahuan dan kebaikan.
b.      Cracker
1.      Mampu membuat suatu program bagi kepentingan dirinya sendiri dan bersifat destruktif atau merusak dan menjadikannya suatu keuntungan.
2.      Bisa berdiri sendiri atau berkelompok dalam bertindak.
3.      Mempunyai situs atau cenel dalam IRC yang tersembunyi, hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya.
4.      Mempunyai IP yang tidak bisa dilacak.
5.      Kasus yang paling sering ialah Carding yaitu Pencurian Kartu Kredit, kemudian pembobolan situs dan mengubah segala isinya menjadi berantakan.




1.3      STUDI KASUS

Seorang ahli kunci ternama bermaksud ingin mewariskan ilmu kepada kedua orang muridnya. Setelah di didik beberapa tahun, kedua muridnya tersebut sudah mahir dan menguasai beberapa tekhnik cara membuka berbagai jenis gembok. Untuk menentukan ahli warisnya, ahli kunci tersebut bermaksud untuk menguji mereka secara bersamaan.
            Disiapkan dua kotak kunci, yang didalamnya berisi sebuah barang berharga, yang ditempatkan didua kamar yang bersebelahan. Si A dan si B masuk yang telah disediakan. Tidak lama kemudian si A keluar, dia menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Sang guru bertanya, “Wah, begitu cepatnya kamu membuka. Apa isi kotak itu ?” Di dalam kotak itu terletak sebuah permata yang sinarnya indah sekali.
            Tak lama kemudian si B keluar ruangan, kembali pertanyaan yang sama diajukan kepada si B, “Apa isi kotak itu ?”. B menjawab, “Aku hanya membuka gembok, dan kemudian keluar, tidak membuka kotak, apalagi melihat isi bungkusan didalam kotak itu”.
            Akhirnya diputuskan sang guru, bahwa si B menjadi ahli warisnya. Keputusan itu tentu tidak diterima si A. Dengan penasaran Ia bertanya,” Guru aku membuka gembok lebih cepat daripada si B, kenapa bukan aku sebagai ahli waris guru ?”. profesi kita adalah tukang kunci, tugasnya adalah membantu pemilik yang kuncinya hilang atau rusak agar si pemilik mendapatkan barangnya. Membuka gembok adalah tugas kita. Setelah gembok terbuka, kita berusaha juga melihat isinya, itu berarti melanggar moral etika profesi kita sebagai ahli kunci. Tidak peduli apapun pekerjan kita. Moral etika professionalisme harus dijunjung tinggi, karena tanpa moral etika seorang ahli kunci dengan mudah akan berganti profesi menjadi pencuri.
Si A mengangguk-angguk puas dengan jawaban sang guru, dia menyadari dimana letak kesalahannya dan bersyukur telah mendapat pelajaran yang berharga sebelum turun ke masyarakat. Meskipun ada perasaan kecewa bahwa ia bukan ahli waris yang ditunjuk, tetapi ia berjanji kelak akan menjalankan profesinya dengan dasar moral dan etika. (sumber : http://rosyidi.com/ahli-kunci/)

1.4      PEMBAHASAN
Etika dan profesionalisme dalam bekerja memang sangat menentukan kualitas seseorang dalam bekerja. Kemampuan yang baik tanpa diiringi rasa profesionalisme yang tinggi malah akan menjadi bumerang bagi orang itu sendiri. Tanpa dilumuri oleh etos kerja yang penuh profesionalisme, kita mungkin akan mudah tergelincir menjadi barisan para pecudang. Tanpa kesadaran batiniah untuk menjejakkan etos profesionalisme dalam segenap raga, kita mungkin akan segera menjadi insan-insan yang gagap dengan dinamika perubahan. Miskin prestasi, dan absen dari perjalanan panjang menuju manusia produktif, mulia nan bermartabat.
Namun,  jika kita menanamkan sikap profesionalisme maka sebuah ikhtiar untuk terus belajar mengembangkan kompetensi diri akan terus tumbuh. Sebuah tekad yang dibalut oleh semangat untuk mempraktekkan prinsip lifetime learning. Bagi mereka selalu akan ada celah dan ruang untuk terus memekarkan potensi dan kapasitas diri.



BAB III
PENUTUP



Profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Profesional, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Konsep dasar profesionalisme adalah kunci dalam suatu profesi, karena hal inilah yang mendasari seseorang untuk bisa menjadi profesional dalam menjalankan profesi yang dimiliki.
Untuk itu apapun bentuk pekerjaanya baiknya kita harus bersungguh-sungguh dan menyelipkan sikap profesionalisme dalam menyikapinya. Karena dengan aturan dan disiplin tanpa disadari kita juga telah menbangun hubungan interaksi yang baik dengan pekerjaan dan juga orang disekitar kita.

Pengertian Ilmu Sosial Dasar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang Ilmu Susial Dasar

Sejalan dengan kemajuan teknologi dan industri yg begitu pesat di zaman globalisasi ini,  manusia tidak hanya dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan zaman, melainkan juga dituntut  untuk mampu berinteraksi dengan baik antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Banyaknya kritikan-kritikan dari dunia industri yang menyatakan bahwa lulusan-lulusan dari perguruan tinggi yang tidak mampu untuk bekerja sama, menimbulkan kekhawatiran akan tidak berjalannya suatu sistem kerja yang membutuhkan keselarasan dan kekompakan kinerjanya sebagai kunci sukses berjalannya suatu sistem kerja tersebut.
            Untuk itu selain manusia dituntut untuk terus menerus mengasah kemampuan-kemampuan yang digelutinya (Hard skill), manusia juga harus mampu untuk mengembangkan kemampuan berinteraksinya dengan manusia lain (soft skill) secara bersamaan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis antara ilmu pengetahuan dengan kehidupan sosial di linkungan masyarakat.
            Dengan seperangkat kemampuan yang dimiliki tersebut lulusan perguruan tinggi diharapkan menjadi sarjana yang sujana yaitu sarjana yang cakap dan ahli dalam bidang yang ditekuninya serta mau dan mampu mengabdikan kemampuannya untuk kepentingan masyarakat Indonesia dan umat manusia pada umumnya.

1.2      Tujuan Penulisan

Setelah menyadari bahwa adanya ketimpangan antara ilmu pengetahuan dan interaksinya di linkungan masyarakat, sudah semestinya kita untuk mengerti bahwa kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan manusia yang lainnya menjadi faktor penting penentu tingkat keberhasilan seseorang.
Adapun tujuan untuk belajar Ilmu Sosial Dasar yakni :
1.     Mampu berinteraksi dengan baik kepada sesama agar memerkecil potensi terjadinya konfilk-konfilk yang terjadi di lingkungan sekitar.
2.    Menyadari bahwa setiap masalah sosial yang timbul dalam masyakat selalu bersifat kompleks dan hanya dapat mendekatinya, mempelajarinya, secara kritis dan interdisipliner sehingga menimbulkan rasa Peka terhadap masalah – masalah sosial dan tanggap untuk ikut serta dalam usaha – usaha menanggulanginya.
3.    Terjadinya kesinambungan antara ilmu pengetahuan dengan interaksi sosial sehingga dapat merealisasikan ilmu pengetahuan di lingkungan masyarakat dengan baik.
4.    Memahami jalan pikiran para ahli dari bidang ilmu pengetahuan lain dan dapat berkomunikasi dengan baik dalam rangka penanggulangan masalah sosial yang timbul dalam masyarakat.
5.    Mampu bekerja secara tim ketimbang individual sehingga cara dan waktu kerja menjadi lebih efektif dan efisien.
6.    Membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian agar memperoleh wawasan pemikiran yang lebih luas.


BAB II

LANDASAN TEORI

1.1      Ilmu Sosial Posivistik
Positivisme dan Postpositivisme Konstruktivisme (interpretatif) Critical Theory
Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam, yaitu suatu metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan deductive logic dengan pengamatan empiris, guna secara probabilistik menemukan atau memperoleh konfirmasi tentang hukum sebab-akibat yang bisa digunakan untuk memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu. Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap social meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial dalam setting kehidupan sehari-hari yang wajar atau alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka. Mengartikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap the real structure di balik ilusi, false needs yang ditampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk kesadaran sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan mereka. (Faqih Al’Asyari, Artikel, Budaya, HAM dan Pendidikan)
Positivistic merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan faham aliran ini pada ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan berjalan sesuai dengan hokum alam (natural lows). Upaya penelitian untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana sesungguhnya realitas itu berjalan. Positivis muncul pada abad 19 yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam pencapai kebenaran maka harus menanyakan lagsung pada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan eksperiment empiris atau metodologi yang lain agar temuan yang diperoleh benar-benar objektif dan menggambarkan yang sebenar-benarnya. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social).
Kaum positivistic mempercayai masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte mempercayai penemuan dalam hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan sosial, dan ia menilai masyarakat bagaikan suatu kesatuan organic yang kenyataanya lebih dari jumlah bagian yang saling tergantung, tetapi tidak mengerti kenyataan ini. Oleh karena itu, metode penelitian empiris harus digunakan dalam keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagaian seperti halnya gejala fisik. Perkembangan ilmu tentang masyarakat bersifat ilmiah sebagai puncak dari proses kemajuan intelektual yang logis sebagaimana ilmu-ilmu telah melewatinya. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern).
Ilmu social positivistic digali dari beberapa pemikiran dari tokoh-tokohnya yakni Saint Simon (Prancis), Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Emile Durkheim (Prancis), Vilfredo Pareto (Italia). Saint Simon menggunakan metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masyarakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelajari masyarakat harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling berhubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan masyarakat sebenarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan social selalu disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan perkembangan cara berfikir manusia. Cara berfikir manusia mulanya bersifat teologis, spekulatif tetapi kemudian berkembang mendekati kenyataan bersifat konkreat, oleh karena itu bersikap positif dan ilmiah.
Menurut Herbert Spencer bahwa objek dari ilmu social hubungan timbal balik dari unsur-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma tas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan. Unsur dalam masyarakat memiliki hubugan yang tetap dan harmonis dan merupakan suatu integrasi. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Spencer memiliki kepercayaan bahwa manusia bersifat merdeka, dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, serta kebebasan itu harus tetap dijaga agar tidak dapat mengganggu kebebasan yang lain. Ia juga menjelsakan tentang pentingnya lembaga social dalam membentuk karakter individu, dan hubungan manusia dengan masyarakat merupakan proses dua jalur. Dimana individu mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi individu. Spencer dalam memandang masyarakat mengunakan teori evolusi dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi evolusi hetrogen dan menentu. Masyarakat menurutnya perkembangannya dari sederhana, menuju kompleks dan terspesialisasi. Ia dalam memandang masyrakat menggunakan analogi organisme sebagaimana dalam ilmu biologi. Secara sederhana menurut Spencer bahwa masyarakat dibentuk oleh individu. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Perbedaan pemikiran antara Comte dan Spencer tetapi saling melengkapi dalam tradisi ilmu social yang bercorak positivistic, Comte dalam memandang masyarakat dengan cara menjelaskan perkembangan persepsi manusia, menekankan perlunya aktualisasi ide, dan Spencer menekankankan perlunya aktualisasi benda. Comte berusaha menginterpretasikan genetic dari fenomena yang membentuk alam dan Spencer menafsirkan genetic dari feomena yang membentuk alam. Comte lebih bersifat subjektif sedangkan Spencer bersifat objektif. Spencer tidak hanya tertarik pada perkembangan ide, tetapi mengembangkan ide pada perubahan korelatif dalam organisasi social, tertib social struktur, maupun progress. Teori yang dimiliki oleh Spencer berupa analisa objektif seperti untuk pertumbuhan, evousi linier, multilinier, tipe-tipe social, dan good society. Kemudian pemikirannya diterjemahkan menjadi diferensisasi sebagai interealasi dan integrasi berbagai aspek penting dalam system masyarakat. Ilmuwan social yang diajurkan oleh Spencer berusaha untuk keluar dari bias dan sentimen tertentu. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa upaya mempertahankan ide dan kepentingan material cenderung mewarnai dan mendistorsikan persepsi seseorang dalam memahami realitas sosial. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung). 
Dalam ilmu social positivistic bersifat bebas nilai, objektif dan dalam perubahan yang terjadi dalam masyarkat memandangnya pada evolusi social. Perubahan yang terjadi dengan evolusi tersebut yang menekannkan pada ekulibrium ini, sehingga dalam ilmu social positivistic lebih bersifat status quo dan tidak peka perubahan.

1.2      METODOLOGI
Ilmu sosial positivistik merupakan ilmu sosial yang menganggap realitas yang ada sejalan dengan hukum alam sehingga menitikberatakan keakuratan suatu informasi dengan menanyakan langsung ke manusia yang bersangkutan agar keabsahan kebenaran  informasi tersebut terjamin ketepatannya. Dalam mencapai kebenaran maka harus menanyakan lagsung pada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan eksperiment empiris atau metodologi bertujuan agar temuan yang diperoleh benar-benar objektif dan menggambarkan yang sebenar-benarnya.
Saint Simon menggunakan metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masyarakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelajari masyarakat harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling berhubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan masyarakat sebennarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan sosial selalu disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan perkembangan cara berfikir manusia.
Asumsi dasar dalam ilmu sosial positivistic memandang masyarakat bagaikan sebuah system organisme dimana satu yang lain saling berkaitan dan terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-masing. Jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka tujuan dari penelitian untuk menjelaskan dan memaparkan tentang gejala social, penelitian harus objektif terukur, bebas nilai, dan peneliti bersifat netral.

1.3      Studi Kasus

            Melihat fenomena maraknya selebritis yang “menceburkan diri” di dunia perpolitikan di Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini, membuat peneliti tergelitik dan merasa perlu untuk membuat suatu penelitian yang berusaha membuktikan hipotesa yang ada selama ini. Pelibatan artis-artis sebagai calon anggota legislatif ini diyakini dapat mendulang suara yang lebih banyak dibanding dengan calon-calon non-artis lainnya.
Sejumlah dalil disampaikan oleh para petinggi partai, terkait alasan mereka merekrut para artis sebagai caleg maupun calon kepala daerah dalam pilkada. Seorang politisi, Soetrisno Bachir menegaskan bahwa prakarsa melibatkan para pesohor sebagai calon legislatif (caleg) salah satunya untuk meningkatkan perolehan suara, artis diyakini dapat mendulang suara lebih banyak daripada kader biasa.  Namun terbukti dari data yang diperoleh peneliti, bahwa jumlah suara yang didapat oleh artis pada pemilihan umum tahun 2004 yang pada awalnya hanya dijadikan sebagai voter gate, pada kenyataannya seakan terbantahkan. Kenyataannya, hanya 7 (tujuh) artis yang berhasil duduk sebagai anggota legislatif. Asumsi bahwa artis yang memiliki popularitas dapat menarik simpati voters untuk memberikan suaranya adalah fenomena yang menarik perhatian peneliti. Sehingga pada akhirnya peneliti mencoba mencari kebenaran, “Apakah popularitas itu benar-benar dapat mempengaruhi pilihan pemilih? Dan sejauh mana popularitas dapat mempengaruhi pilihannya?”. Itulah masalah pokok yang menjadi fokus pada penelitian kali ini.
Dipilihnya pemilih pemula sebagai fokus penelitian dikarenakan pemilih pemula memiliki potensi suara yang cukup besar dalam pemilu. Berdasarkan proyeksi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, jumlah penduduk muda (usia dibawah 40 tahun) sekitar 95,7 juta jiwa pada tahun 2009, jumlah tersebut setara 61,5% dari 189 juta penduduk usia pemilih.  Disamping itu, dipilihnya pemula adalah karena pemikiran politiknya yang masih labil dalam menganalisis fenomena politik, dan ditakutkan hanya terjebak dalam kepopuleran figur semata.

1.4      Pembahasan

Bila terpilih sebagai anggota DPR, para artis atau selebriti dituntut benar-benar menjadikan panggung politik ini sebagai tempat mengekspresikan diri sebagai wakil rakyat dan memperlihatkan tanggung jawab untuk memenuhi janji-janji saat kampanye, yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.
Jangan menjadikan panggung politik sebagai panggung hiburan dan hanya sesekali tampil “di pentas”. Sebab, seorang anggota DPR minimal mewakili 400.000 pemilih. Mereka menitipkan harapan kepada wakilnya di Senayan. Apalagi, dunia politik bukanlah panggung sandiwara di mana seorang artis bisa berperan menjadi apa saja sesuai tuntutan alur cerita.
Namun harus disadari juga bahwa tidak ada yang namanya politik instant, munkin kemampuan berpolitik artis bisa di bentuk sedangkan elektibilitas tidak bisa dibentuk dengan instan. Status keartisan seseorang hanyalah salah satu entry point menuju identitas baru sebagai politikus.


BAB III

PENUTUP

            Peran selebritis dalam kancah perpolitikan di dunia sebenarnya sudah ada sejak dahulu tetapi budaya selebritis Indonesia masuk ranah perpolitikan terhitung baru. Seletah beberapa selebritis yang menggunakan hak warga negaranya terjun dalam politik dan berhasil menduduki kursi sebagai kepala daerah dan anggota legislatif memberikan daya tarik tersendiri bagi kalangan selebritis lain. Popularitas seorang artis mengalahkan segala kharisma tokoh lain yang pada dasarnya telah lama berkecimpung di dunia politik.
Pro dan kontra terus bergulir tentang keterlibatan selebritis dalam ranah perpolitikan. Para politisi, bukan salah satu figur yang menentukan dalam pembentukan berbagai arus dalam perjuangan politik mencapai kekuasaan. Jenis alat bantu yang mereka punyai juga sangat menentukan.  Keeksistensian dalam ranah perpolitikan selebritis merupakan modal awal bagi dirinya mengembangkan keterampilannya dibidang politik.
Kemunculan selebritis politik merupakan perwujudan nyata dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemimpin. Hal ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk mempersunting selebritis sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah tertentu. Tentu saja hal ini menguntungkan baik keuntungan kekuasaan maupun finansial.